Assalamu alaikum,Sahabat IslaMulia
Zakat secara bahasa berarti tumbuh. Selain itu zakat berarti mensucikan.Adapun pengertian zakat secara istilah
syar’i berkaitan erat dengan dua pengertian di atas. Apabila zakat
berarti tumbuh, maka ini menunjukkan bahwa jika zakat tersebut
dikeluarkan dari harta, maka harta tersebut akan semakin berkembang.
Atau hal ini dapat bermakna pula bahwa zakat akan semakin memperbanyak
pahala kebaikan seseorang. Atau dapat bermakna pula bahwa zakat itu ada
pada harta yang berkembang saja seperti pada harta perdagangan dan
pertanian. Adapun jika zakat berarti mensucikan, ini berarti zakat
dapat menyucikan jiwa dari sifat pelit dan dapat menyucikan dari
berbagai dosa. Demikian penjelasan yang penulis sarikan dari keterangan
Ibnu Hajar dalam Al Fath.
Intinya, pengertian zakat secara istilah,
adalah penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dalam bentuk yang
khusus, dan disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa
satu tahun) dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat
pun kadang dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki harta dan mengeluarkan zakatnya.
Zakat merupakan bagian dari rukun Islam,
yaitu termasuk rukun Islam yang ketiga. Islam biasa diibaratkan dalam
beberapa hadits dengan bangunan. Ini menunjukkan bahwa Islam itu bisa
berdiri jika ada penegaknya. Dan di antara penegaknya adalah zakat. Itu
berarti jika zakat itu tidak ada, maka bisa robohlah bangunan Islam
tersebut. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara:
bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah
melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat;
menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
“Zakat adalah suatu kepastian dalam syari’at Islam, sehingga tidak
perlu lagi kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk
membuktikannya. Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal
perinciannya. Adapun hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu
wajib, sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan
sedekah dalam syari’at Islam memiliki makna yang sama. Keduanya terbagi
menjadi dua: (1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian
masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang
sunnah, maka itu adalah anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil
yang benar nan kuat.
Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk istilah sedekah yang wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban dan pemaafan.”
Syarat-Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan ada yang berkaitan dengan harta.
- Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat): (1) islam, dan (2) merdeka. Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.
- Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokoknya.
Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.
(1) Dimiliki secara sempurna.
Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar.” (QS. Al Hadiid: 7)
Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini
merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah milik Allah. Hamba
tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja
yang menginfakkan hartanya pada jalan Allah sebagaimana halnya
seseorang yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya, maka ia
akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak.”
Harta yang hakikatnya milik Allah ini
telah dikuasakan pada manusia. Jadi manusia yang diberi harta saat ini
dianggap sebagai pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di
sini adalah harta tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak
berkaitan dengan hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas
pilihannya sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.
Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang benar dalam hal ini, piutang bisa dirinci menjadi dua macam:
- Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti dikenai zakat, ditunaikan dengan segera dengan harta yang dimiliki dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
- Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.
(2) Termasuk harta yang berkembang.
Yang dimaksudkan di sini adalah harta
tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi si empunya atau harta
itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama
membagi harta yang berkembang menjadi dua macam: (a) harta yang
berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta perdagangan dan
hewan ternah hasil perkembangbiakan, (b) harta yang berkembang secara
takdiri (kualitas).
Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ
“Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464)
Dari sini, maka tidak ada zakat pada
harta yang disimpan untuk kebutuhan pokok semisal makanan yang
disimpan, kendaraan, dan rumah.
(3) Telah mencapai nishob.
Nishob adalah ukuran minimal suatu harta
dikenai zakat. Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ini akan
ukuran nishob masing-masing yang nanti akan dijelaskan.
(4) Telah mencapai haul.
Artinya harta yang dikenai zakat telah
mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah. Syarat ini berlaku
bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil
pertanian tidak ada syarat haul, namun zakat dari pertanian
dikeluarkan setiap kali panen.
(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.
Harta yang merupakan kelebihan dari
kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu dianggap mampu
atau berkecukupan. Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak mampu. Para ulama
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah apabila
kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka seseorang bisa jadi akan celaka,
seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian.
Harta yang Dikenai Zakat
Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib dikenai zakat adalah:
- Emas dan perak (mata uang).
- Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
- Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan anggur).
Referensi:
- Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
- Az Zakat wa Tathbiqotuhaa Al Mu’ashiroh, Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyar, Darul Wathon, cetakan ketiga, 1415 H.
- Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379.
- Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah.
- Tafsir Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al Anshori Al Qurthubi, Mawqi’ Ya’sub
Penulis : Idham Mukholid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar